Selasa, 1 September 2009

“Adat basandi (bersendi) sarak, sarak basandi Kitabulah”.

“Adat basandi (bersendi) sarak, sarak basandi Kitabulah”.

Perumusan

“Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah” lahir dari suatu kompromi
antara dua kubu filsafat yang berbeda. Sebelum agama Islam masuk ke Minagkabau,
masyarakat Miangkabau mengatur kehidupan masyarakatnya berdasarkan adat
Minangkabau. Dasar filsafah adat Miangkabau adalah “Nan satitiek(setitik)
jadikan lauik (laut), nan sakapa(sekepal) jadikan gunuang, alam takambang
jadikan guru” (Lihat tulisan Mr. Nasroen). Singkatnya dasar adat Miangkabau
adalah hukum alam yang terhampar dalam setiap segi kehidupan kita.

Sedangkan agama Islam yang mendasarkan ajarannya kepada kitab Alquran sebagai petunjuk Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pertentangan keduanya telah
melahirkan persengketaan yang mendalam antara kaum adat dan kaum agama. Setelah
melalui peperangan dan tindakan kekerasan, akhirnya para yang bersengketa
mencari solusi damai dengan rumusan “Adat bersendi sarak, sarak bersendi
Kitabulah. Ini adalah contoh win-win solution. Kaum adat tidak perlu mengubah
ajarannya, demikian juga dengan kaum agama. Mengapa ?

Menurut ajaran agama Islam, alam terkembang adalah ciptaan Tuhan. Adat Minangkabau menjadikan alam terkembang sebagai dasar perumusan hukum-hukum adat. Dengan demikian tidak seharusnya dipertentangan antara hukum adat dengan hukum Islam, Karena kedua-duanya berasal dari ciptaan Tuhan. Maka lahirlah perdamaian antara kaum
agama dengan kaum adat berdasarkan rumusan : “adat bersendi sarak, sarak
bersendi kitabulah”.

2. “kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah.”

Kompromi ini lahir bukan karena kerajaan Pagaruyung, melainkan seperti yang saya jelaskan diatas sebagai win-win solution antara kaum adat dan kaum agama. Maka ia bukanlah mitos, juga bukanlah “sesuatu Entah”, sesuatu yang diragukan yang ada bersama sejarah. Ia nyata dan merupakan sesuatu kearifan manusia dalam mencari kedamaian dan menghindari pertentangan dengan win-win solution. Kedua pihak tidak ada yang merasa kalah maupun menang. Yang menang adalah seluruh masyarakat Minangkabau yang terhindar kehancuran akibat pertentangan antara ajaran adat dan ajaran agama Islam.

Burhan Azis